Sabtu, 07 Februari 2009

PERNIKAHAN INSECT BATAK

Si Raja Batak mempunyai dua anak yang diketahui silsilahnya sampai sekarang. Pertama Guru Tatea Bulan dan yang kedua adalah Raja Isumbaon. Ada yang mengatakan bahwa ada bungsunya satu lagi bernama Toga Laut yang mengembara ke arah utara menuju Aceh yang tidak pernah kembali di masa mudanya.

Guru Tatea Bulan mempunyai sembilan orang anak, lima laki-laki dan empat perempuan yaitu, Raja Biak-biak, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagalaraja (Malauraja), Boru Pamoras, Boru Pareme, Boru Biding Laut dan Natinjo.

Selanjutnya Raja Isumbaon mempunyai tiga orang anak yaitu Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkarsomaling (Hutagalung, 1991:34)

Dari keturunan Raja Tatea Bulan terjadi perkawinan sumbang yaitu antara Tuan Sariburaja dengan adik kandungnya si Boru Pareme yang akhirnya menyebabkan perpecahan antara Sariburaja dengan adik-adiknya. Sariburaja memilih untuk melarikan diri ke hutan meninggalkan si Boru Pareme yang sedang hamil.

Si Boru Pareme tidak putus asa lalu mencarinya ke hutan. Di sana dia melahirkan putra yang sedang dikandungnya dan diberi nama Lontung atau dikenal kemudian Si Raja Lontung.

Dalam pengembaraan, Sariburaja kemudian menikah dengan Nai Mangiring Laut. Dari istri barunya ini lahirlah seorang anak yang bernama Borbor yang kemudian dikenal Si Raja Borbor.

Friksi dalam keluarga kecil ini menyebabkan perpecahan yang panjang antara Si Raja Lontung dengan Si Raja Borbor. Perselisihan tersebut berlanjut kepada keturunan masing-masing, dimana keturunan Raja Borbor kemudian beraliansi dengan keturunan Limbong Mulana, Sagalaraja dan Malauraja kontra keturunan Si Raja Lontung.

Karena itulah dalam kehidupan sosial berikutnya, aliansi keturunan Raja Borbor tersebut menggunakan panggilan "amangboru" yang lebih kurang berarti ipar dan tidak menggunakan tuturan seharusnya, yakni abang terhadap keturunan Si Raja Lontung.

Selanjutnya menurut A. Adnan Situmorang, Si Raja Lontung yang menikah dengan si Boru Pareme, yakni namborunya sendiri mendapat sembilan anak yakni Aritonang, Siregar, Simatupang, Situmorang, Toga Nainggolan, Toga Pandiangan. Toga Sinaga, Si Boru Panggabean, Si Boru makpandan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh W. Hutagalung (1991:63)

Dengan terjadinya perkawinan sumbang atau kawin sedarah ini, maka dirasa sulit untuk menentukan posisi adat seperti "hula-hula", "dongan sabutuha" dan "borunya". Dengan kebuntuan ini, muncullah tokoh seperti Sorimangaraja putra dari Raja Isumbaon yang berinisiatif mendamaikan masalah perkawinan sumbang ini dengan mengambil beberapa keputusan yang pada akhirnya menjadi prinsip-prinsip adat dalam kebudayaan Batak yang diwarisi sampai sekarang.

Keputusan itu adalah:
Bahwa sesuatu masalah dapat dipecahkan dalam musyawarah untuk mendapat kesepakatan antara keturunan Si Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Tuan Sorimangaraja.
2. Bahwa perkawinan sesama saudara adalah tabu. Tidak diperkenalkan terjadi dalam keturunan Si Raja Batak.
3. Bahwa segala "horja" dan bentuk peradatan, baru dapat berlaku apabila telah mendapat dukungan dari Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Tuan Sorimangaraja. Ibarat tungku yang sama besar kokoh menampung periuk di atasnya. (Rajamarpodang, 1992:14)

Keputusan ini dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang diabadikan dalam bentuk janji. Kemudian janji tersebut menjadi sumber hukum adat Batak yang disebut dengan Dalihan Na Tolu atau Tungku Nan Tiga. (Lihat: Lamhot Simarmata, Skripsi di IAIN Sumatera Utara, Fakultas Dakwah, Medan pada tahun 1997 dengan judul Pendayagunaan Dalihan Na Tolu Sebagai Sarana Pengembangan Dakwah di Kecamatan Harian Kabupaten Tapanuli Utara)

Dalam pemerintahan Sisingamangaraja, dikenal ada tiga pendetaraja yang menjadi penasehat politik dan adat bagi Dinasti Sisingamangaraja. Pertama adalah Ompu Palti Raja (selalu dijabat oleh marga keturunan Si Raja Lontung), Jonggi Manoar (dijabat oleh marga Borbor Bersatu biasanya Limbong atau Sagala) dan Baligeraja (yang selalu dijabat oleh keturunan Raja Isumbaon).

Tarik menarik pengaruh politik sering terjadi antara ketiga pendetaraja tersebut dalam hubungan dengan kedaulatan Sisingamangaraja. Pada pemerintahan Sisingamangaraja X terjadi friksi antara Sisingamangaraja X dengan Ompu Palti Raja saat putri Sisingamangaraja X yang bernama Nai Napatihan berkeinginan menikah dengan putra Ompu Palti Raja.

Nai Napatihan merupakan putri satu-satunya Sisingamangaraja X, dan putri pertama dari dinasti Sisingamaraja, di mana sejak Sisingamangaraja I sampai dengan yang kesembilan tidak pernah mempunyai anak perempuan. Hal ini dikaitkan sejarah akibat karma yang terjadi kepada Manghuntal, Sisingamangaraja I yang berseteru dengan namborunya yang juga bernama Nai Napatihan boru Sinambela. Perselisihan terjadi akibat kebijakan Sisingamangaraja yang terlalu pro kepada pihak miskin dan yang tertindas. Sebuah kebijakan yang tidak disukai oleh namborunya tersebut. Nai Napatihan akhirnya tewas dalam perang saudara dengan Sisingamangaraja I yang mendapat bantuan dari pasukan kavaleri penunggang gajah dari Kesultanan Barus.

Namun akhirnya, Sisingamangaraja dan keturunannya harus menerima kutukan alam saat semua keturunannya tidak pernah mendapat anak perempuan. Kutukan tersebut akhirnya bisa ditanggalkan pada Sisingamangaraja X, yang akhirnya mempunyai seorang putri dan diberi nama Nai Napatihan untuk menghormati Namboru S. M. Raja pertama yaitu Nai Napatihan.

Namun sayang, putri satu-satunya dan kesayangan tersebut akhirnya memilih menikah dengan putra Ompu Palti Raja dari marga keturunan Si Raja Lontung. Sisingamangaraja X khawatir dengan keamanan tahtanya apabila generasi Si Raja Lontung menikah dengan putrinya boru Sinambela akan menghasilkan persaingan politik yang berkepanjangan. Ketiga turunan di atas, yakni keturunan Si Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Sumba terlibat dalam persaingan politik di berbagai daerah atau huta di tanah Batak. Lontung menguasai tanah Batak Selatan atau Tapanuli Selatan dan sebagian pulau Samosir, Borbor Bersatu menguasai tanah Batak Pesisir dan Sumba di pusat tanah Batak.

Akhirnya Nai Napatihan dan Suaminya yang putra pejabat lembaga Ompu Palti Raja tersebut, diungsikan secara santun oleh Sisingamangaraja X ke tanah Aceh atau tepatnya Singkil, agar tidak menjadi pesaingnya.

Dalam pengungsian lahirlah seorang anak yang bernama Pongkinangolngolan yang kemudian dikenal bernama Fakih Amiruddin, sesuai dengan kebiasaaan nama-nama Batak Singkil di sana.

Sejarah akhirnya berputar dimana Fakih Amiruddin ditakdirkan menjadi pemimpin sebuah pasukan Batak Padri yang datang dari tanah Batak selatan yang kemudian berseteru dengan Sisingamangaraja X di Bakkara. Fakih Amiruddin akhirnya memenangi pertempuran tersebut setelah seorang pasukannya dari marga Siregar berhasil menewaskan Sisingamangaraja X dan mendirikan pemerintahan Bataknya berpusat di Siborong-borong selama beberapa tahun. Dengan tewasnya Fakih Amiruddin atau yang dikenal dengan Tuanku Rao tersebut dalam pertempuran di Air Bangis melawan penjajah, maka kekuasaannya juga pudar di tanah Batak.

Ini adalah satu versi mengenai Fakih Amiruddin. Versi lain mengatakan bahwa dia sebenarnya marga Sinambela dari Ibu yang bernama Gana Sinambela putri Sisingamangaraja IX. Tapi pandangan ini sangat lemah karena putri kerajaan yang boru Sinambela hanya Nai Napatihan boru Sinambela, itupun baru pada era Sisingamangaraja X, akibat karma yang menimpa Dinasti Sisingamangaraja.

Versi lain mengatakan bahwa Ibunya adalah Nai Napatihan Sinambela yang menikah dengan seorang putra Aceh dan kemudian diusir dari tanah Batak. Ada juga versi lainnya yang mengatakan, dari sebuah disertasi sarjana Batak di UGM, bahwa Pongkinangolngolan bukanlah Tuanku Rao, tapi orang yang berbeda. Pongkinangolngolan bersama Tuanku Rao berseteru dengan Sisingamangaraja X dalam sebuah konstalasi politik saat itu.

Dimana Pongkinangolngolan yang orang batak penganut Islam dan Tuanku Rao bermaksud melakukan pembaharuan agama Islam di tanah Batak yang sudah banyak menganut Islam sejak abad ke-7 tapi berbau syiah, sinkretis dan adat. Pasukan Muslim Batak di bawah pimpinan Syarif Tanjung seorang panglima pasukan Sisingamangaraja X dan dengan dukungan Sisingamangaraja X, berhadapan dengan pasukan Batak Padri. Perang ini terjadi pada abad ke-19.


Menyimak Berbagai Analisa Dan Penelitian “Batak” Artinya Penunggang Kuda = Keberanian?

Sudah sejak lama sebutan (perkataan) Batak sebagai nama salah satu etnis di Indonesia diteliti dan diperbincangkan banyak orang asal kata atau pengertiannya. Bahkan melalui beberapa penerbitan suratkabar pada awal abad 20 atau juga masa sebelumnya, pernah terjadi polemik antara sejumlah penulis yang intinya memperdebatkan apa sebenarnya pengertian kata (nama) Batak, dan dari mana asal muasal nama itu. Di suratkabar Pewarta Deli no. 82 tahun 1919 misalnya, polemik yang paling terkenal adalah antara seorang penulis yang memakai nama samaran “Batak na so Tarporso” dengan J. Simanjutak. Keduanya saling mempertahankan pendirian dengan argumentasi masing-masing, serta polemik di surat kabar tersebut sempat berkepanjangan. Demikian pula di suratkabar keliling mingguan yang di terbitkan HKBP pada edisi tahun 1919 dan 1920, perbincangan mengenai arti sebutan Batak itu cukup ramai dimunculkan.

Seorang penulis memakai inisial “JS” dalam tulisan pendeknya di suratkabar Imanuel edisi 17 Agustus 1919, akhirnya menyatakan diri tampil sebagai penengah diantara silang pendapat tersebut. JS dalam tulisannya antara lain mengutip buku berjudul “Riwayat Poelaoe Soematra” karangan Dja Endar Moeda (alm) yang diterbitkan tahun 1903, yang pada halaman 64 cuplikannya sebagai berikut : “Adapoen bangsa yang mendoedoeki residetie Tapanoeli itoe, ialah bangsa Batak namanya. Adapoen kata “Batak” itoe pengertiannya : orang pandai berkuda. Masih ada kata Batak yang terpakai, jaitoe “mamatak“, yang ertinya menaiki koeda. Kemoedian hari orang perboeatlah kata itoe djadi kata pemaki (plesetan/red BONA) kepada bangsa itoe…”

keterangan serupa juga dikemukakan Dr. J. Warneck (Ephorus HKBP) dalam bukunya berjudul “Tobabataksch-Deutsche Woterbuch” seperti tertulis di halaman 26.

Menurut JS yang beralamat di Pangaribuan seperti tertulis di suratkabar Imanuel, tuan L.Th. Meyer juga menulis dalam bukunya berjudul “Maleisch Hollandsch Wordenboek”, pada halaman 37 : “Batak, Naam van een volksstamin in Sumatra…” (Batak adalah nama satu Bangsa di pulau Sumatra).

Keterangan itu dituturkan JS dalam tulisan pendeknya sebagai meluruskan adanya anggapan ketika itu seolah-olah perkataan Batak memberi pengertian terhadap suatu aliran/kepercayaan tentang agama tertentu yang dikembangkan pihak tertentu mendiskreditkan citra orang Batak.

1 komentar:

  1. Cuma tanya bg

    Bukan kah berarti semua keturunan raja batak adalah satu darah yg ber arti tidak boleh saling menikah(semua marga keturunan raja batak saudara kandung)

    Saya juga masih bingung

    Terima kasih

    BalasHapus


Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan, walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan Kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan.

Jangan simpan kata-kata cinta pada orang yang tersayang sehingga dia meninggal dunia lantaran akhirnya kamu terpaksa catatkan kata-kata cinta itu pada pusaranya. Sebaliknya ucapkan kata-kata cinta yang tersimpan dibenakmu itu sekarang selagi ada hayatnya.

Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dan bercinta dengan orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti bagaimana berterimakasih atas karunia tersebut.